Sunday, February 23, 2014

Mari Move On Indonesia

Indonesia dan potensi migasnya

Boleh dikata Indonesia ini kaya akan sumber minyak dan gas (migas) karena baru-baru ini menurut hasil penelitian Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) dan suatu lembaga riset Jerman yang menemukan potensi minyak (hidrokarbon) dalam jumlah sangat besar sekitar 107,5-320,79 miliar barel di perairan timur laut Pulau Simeulue, Provinsi Naggroe Aceh Darussalam (NAD). Menurut kementrian ESDM, cadangan minyak Indonesia terbukti 4.230,17 MMSTB (Million Metric Stock Tank Barrels)  dan potensial 3.534,31 MMST sementara potensi gas bumi yang dimiliki Indonesia berdasarkan status tahun 2008 mencapai 170 TSCF dan produksi per tahun mencapai 2,87 TSCF, dengan komposisi tersebut Indonesia memiliki reserve to production (R/P) mencapai 59 tahun. Singkat kata, banyak sekali. 

Tak bisa atau tak mau ?

Sayang beribu sayang di tengah melimpahnya cadangan minyak kita, walaupun masih 1/1000nya cadangan minyak venezuela menurut wakil menteri ESDM, 74% kegiatan usaha hulu atau pengeboran minyak dan gas (migas) di Indonesia masih dikuasai perusahaan asing. Perusahaan nasional cuma menguasai 22% dan sisanya konsorsium asing dan lokal. Lebih menyedihkan lagi melihat kenyataan bahwa Indonesia hanya mempunyai 7 kilang minyak dengan kapasitas produksi 1.041,20 Ribu Barrel. Bandingkan kilang minyak singapura yang mencapai 1,3 juta barel lebih per hari. Selama 10 tahun Indonesia akan membangun kilang minyak baru yang lebih berkualitas namun semuanya hanya janji belaka. Padahal insinyur Indonesia mampu membangun kilang minyak sendiri jika diberikan kesempatan oleh pemerintah menurut Ketua Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Nanang Untung.

Terlepas dari tidak mampunya Indonesia mendominasi di negeri sendiri, pemerintah nampaknya juga belum mau berusaha untuk mengembangkan diri. Hal itu terlihat dari bagaimana sikap pemerintah yang condong kepada investor asing mengenai kontrak blok mahakam. Kontrak blok yang akan habis pada 2017 ini dinilai pemerintah akan lebih menguntungkan bila di berikan kepada TOTAL atau INPEX dengan syarat menaikan bagi hasil yang lebih banyak lagi dari kontrak sebelumnya. Sisa cadangan yang ada plus fasilitas produksi yang sudah sepenuh diberikan cost recovery harus dianggap sebagai equity pemerintah sehingga split bagi hasil yang semula 70:30 untuk gas dan 85:15 untuk minyak harus dinaikkan secara signifikan untuk mengkompensasi equity pemerintah tersebut menurut Gde Pradnyana, Sekretaris Satuan Kerja Khusus Migas (SKKMIGAS). Padahal PERTAMINA sebagai perusahaan nasional telah meminta hak kelola blok tersebut sejak 2013 lalu. Menurut Manajer External Communication PT Pertamina (Persero) Jekson Simanjuntak, PERTAMINA mampu untuk mengelola blok mahakam dengan estimasi keuntungan 190 Triliun yang tentu akan masuk ke kas negara. Direktur Eksekutif Institute Resourcess Studies (IRESS) Marwan Batubara pun mendukung permintaan Pertamina tersebut. 

Di sisi lain PERTAMINA telah membuktikan diri kepada pemerintah sebagai unit kerja yang kredibel dengan berhasil bercokol di peringkat 122 Fortune 500. Fortune 500 adalah daftar peringkat tahunan perusahaan kelas dunia yang diterbitkan oleh majalah bergengsi Fortune. Dalam peringkat itu, terdapat 500 perusahaan swasta dan milik pemerintah teratas yang dinilai berdasarkan kinerja tiap-tiap perusahaan dengan melihat pendapatan kotor perusahaan tersebut. Sehingga bola panas sekarang berada di tangan pemerintah, akankah terus memberikan kontrak kepada asing atau ada sedikit “keberanian” untuk mempercayakan blok ini kepada anak negeri. Maka kemauan politik lah yang nantinya akan menentukan kemana arah blok ini akan bersandar lagi untuk paling tidak 20 tahun lagi.

Saatnya move on

Mari sejenak kita lepaskan hingar bingar data dan kritik yang bertebaran, marilah kita sejenak melihat kembali apa cita-cita bapak pendiri bangsa, Ir.Sukarno. Bung karno pernah menolak bantuan dari Amerika Serikat karena saat itu Indonesia mengalami krisis ekonomi karena pemerintah terlalu terfokus dalam ranah politik dan kurang memperhatikan masalah ekonomi dalam negeri. Melihat hal itu, pemerintah Amerika Serikat mencoba menawarkan bantuan agar Indonesia dapat mengatasi krisis tersebut. Meluncurlah salah satu kalimat terkenal bung karno, “Go to the hell with your aid !”. Bung karno sendiri bercita-cita nantinya seluruh potensi bangsa ini dikelola oleh rakyatnya sendiri. Maka pilihan untuk memberikan blok mahakam, blok siak atau blok-blok lainnya yang akan habis kontrak kepada asing tentu bukan merupakan kebijakan yang nasionalis tapi belum tentu kebijakan yang strategis. Tentu pemerintah harus memikirkan keputusan yang sebijak-bijaknya, yang nasionalis, yang strategis. Melepas blok mahakam atau blok siak juga bukan suatu keputusan yang akan menghancurkan perekonomian Indonesia, tentu akan lebih bijak jika kelola blok ini dan blok-blok lainnya dikembalikan kepada PERTAMINA sesuai mandat UUD 45 pasal 33. Sembari berlalunya waktu, para insinyur negara ini dan PERTAMINA akan belajar bagaimana mengelola suatu blok migas. Transfer technologypun akan semakin meningkat sehingga Indonesia semakin mampu mengelola sendiri. Rugi merupakan hal yang wajar, untuk mendapatkan sesuatu tentu ada biayanya bukan ? Namun peran pemerintah lah yang harus mampu menekan kerugian tersebut, toh kita sudah sering merugi dari hasil korupsi. Pemerintah tentu harus memiliki keberanian dan kemauan politik untuk menjalankan ini sehingga kita bisa terus berbenah diri. Meminjam istilah anak muda saat ini, yuk Indonesia move on.
Sumber :
http://www.migas.esdm.go.id diakses 23 Februari 2014

No comments:

Post a Comment