Negara
Maritim ?
Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan panjang pantainya sebesar
95.181 km menurut PBB pada tahun 2008, terbesar ke empat di dunia setelah
Rusia. Indonesia juga memiliki luas wilayah laut sebesar 5.8 juta kilometer
persegi. Indonesia juga negara dengan lautan terluas di dunia, di kelilingi dua
samudra yaitu Pasifik dan Hindia hingga tidak heran memiliki jutaan spesies
ikan yang tidak dimiliki negara lain. Menurut Data resmi
Bakosurtanal pada tahun 2011 menyebutkan, jumlah pulau di Indonesia mencapai
17.508 (17.506 pulau setelah dikurangi Sipadan dan Ligitan). Maka berdasarkan
fakta diatas tidak heran Ir.Djoenda, Perdana Mentri RI, pada tahun 1957
mendeklarasikan Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) yang
kemudian disahkan PBB pada tahun 1982.
Selain
pulaunya, Indonesia hingga sat ini memiliki 60 cekungan sumber daya minyak (Kevin
M. Robinson, 1987). 40 cekungan berada di lepas pantai dan 14 cekungan berada
di kawasan pesisir. Dari kesemuanya 22 cekungan telah di eksploitasi secara
intensif. Diyakini masih banyak potensi yang masih tersimpan di perut tanah air
tercinta ini.
Sebegitu
megahnya potensi maritim kita namun sepertinya warisan konsep dan pemikiran
yang telah ditanamkan oleh penjajah belanda selama 350 tahun telah mengakar
begitu hebat dan kuat di pemikiran orang Indonesia. Bangsa kita masih saja
berpolemik tentang bagaimana mengatur jumlah lahan pertanian di pulau jawa atau
saling tuding menuding atau mungkin sumpah serapah dalam pengurusan pembukaan
lahan kelapa sawit di Kalimantan. Jarang sekali kita mendengar para pemimpin
kita meributkan tentang pengembangan sumber daya perikanan di daerah-daerah
yang berpotensial atau menyumpahi dengan muka merah padam pada pemodal asing
yang menguasai hampir 95% aktifitas transportasi laut Indonesia.
Pengaruh
penjajah
Pemikiran kita
telah berubah sejak abad ke 19 yang dahulu berorientasikan ke-maritiman menjadi
ke-tanahan. Padahal menurut Adrian B Lapian, nahkoda pertama sejarawan maritim
Asia Tenggara, untuk negara kepulauan seperti Indonesia ini, wilayah maritimlah
yang memegang wilayah sentral. Otak kita telah sedemikian di atur oleh penjajah
untuk menjadi bangsa petani, bangsa buruh.
Sejarah mencatat
sebelum abad ke 17 kawasan Indonesia dan sekitarnya dikuasai oleh kapal-kapal
nusantara, dibuktikan dengan begitu berkuasanya kerajaan Swijaya dan kerajaan
Majapahit. Namun begitu menginjak paruh pertama abad ke-17, peran sentral ini
mulai diambil alih oleh Belanda dan Portugis hingga puncaknya pada abad ke-19
sejarah maritim kita diibaratkan sudah memasuki waktu maghrib oleh Adrian B
Lapia, nahkoda pertama sejarawan maritim Asia Tenggara. Pada negara kepulauan,
peran kota pelabuhan sangat penting dimana pelabuhan ini akan menghubungkan
satu pulau dengan pulau yang lain. Hal itu lah dipahami betul oleh para
kumpeni, mereka menguasai satu per satu kota pelabuhan besar dan menghalau
pelaut dan pedagang anak-anak Indonesia untuk berlayar. Akhirnya kapal-kapal
Belandalah yang berlayar. Sejak dijajah oleh kumpeni inilah, sejarah besar
bangsa maritim Indonesia hancur lebur. Anthony reid, pengkaji sejarah marirtim
Indonesia dari Australian National University, mengutip pernyataan Daghregister
Batavia pada 1677 bahwa orang-orang mataram bagian timur jawa saat itu sudah
tidak tahu-menahu lagi soal laut dan tidak lagi memiliki kapal besar sendiri
sebagai pemenuh kebutuhan rakyat saat itu.
Akhirnya rakyat
dipaksa menjadi buruh paksa di darat. Bercocok tanam ditanamkan kepada bangsa
Indonesia sebagai jati diri bangsa. Hal itu bisa anda lihat bersama di lambang
pancasila untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang diibaratkan
dengan padi dan kapas. Semuanya merupakan produk pertanian, sama sekali tidak
menyentuh potensi bahari kita. Pikiran kita seakan ditutup untuk bagaimana sedapat
mungkin ‘menghabisi’ seluruh potensi tanah kita, hingga sejarawan Ong Hok Ham
(alm) geleng-geleng kepala dan berucap, “Apakah orang Indonesia hanya (bisa)
hidup terpencil dikelilingi gunung berapi dan hidup dari usaha pertanian untuk
kemudian dikolonisasi oleh penguasa yang menguasai lautan Indonesia ?”
Kondisi
kekinian
Tak ubahnya
dengan pepatah kedelai yang jatuh di lubang yang sama dua kali, negara kita ini
tak berkembang signifikan setelah dijajah kumpeni dahulu. Fokus pengembangan
negara hanya berkisar di daerah pertanian, bagaimana menciptakan bibit unggul,
insektisida yang baik atau bagaimana memanfaatkan lahan yang mati. Bila
diberikan peluang investasi pembangunan pelabuhan baru atau investasi pencarian
sumber cadangan minyak baru, yang memiliki resiko rugi, pemerintah kita
layaknya kucing, selalu bilang nanti saja. Padahal potensi maritim indonesia
kini bila di estimasi menurut direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K)
Kementerian Kelautan dan Perikanan Sudirman Saad, nilai ekonomi kelautan dari bidang-bidang maritim utama antara lain
pertama, perikanan termasuk perikanan tangkap, budidaya, dan pengolahan mencapi
USD 47 miliar per tahun. Kedua, pariwisata bahari mencapai USD 29 miliar yang
tersebar di 241 kabupaten/kota. Selain itu, potensi ekonomi dari energi
terbaharukan mencapai USD 80 miliar per tahun yang terdiri dari energi arus laut, pasang surut, gelombang,
biofuel alga, panas laut. Ada juga biofarmasetika laut mencapai USD 330 miliar per tahun yang
didukung oleh tingginya kelimpahan dan keanekaragaman hayati laut Indonesia
untuk pengembangan industri bioteknologi bahan pangan, obat-obatan, kosmetika
dan bioremediasi. Sementara nilai ekonomi transportasi laut mencapai USD 90
miliar per tahun didukung oleh potensi jaringan transportasi laut nasional dan
internasional, posisi strategis Indonesia dan ALKI
Semua potensi tersebut sekarang
tinggal menunggu kebijakan pemerintah, apakah akan dibiarkan saja atau akan
dikelola. Diperlukan kemauan politik yang kuat dan langkah yang strategis untuk
mengelola hal tersebut. Apalagi landasan undang-undang maritim Indonesia belum
jelas selama ini, kebanyakan dari undang-undang kita masih rancu dan tidak bisa
menjawab tantangan masa kini. Marilah kita berharap semoga pemerintah lebih
serius menangani masalah ini, toh
Indonesia tidak kekurangan ahli atau praktisi di bidang tersebut. ITS salah
satunya.
Menatap Masa
Depan
Indonesia tak ubahya remaja yang
masih mencari jati diri. Sejatinya ia kuat namun karena belum memiliki jati
diri yang kokoh ia acapkali terombang-ambing mencari jalan mana yang paling
nyaman. Dengan potensi yang begitu besar sekarang tinggalah pilihan berada di
tangan pemerintah, mau dibawa kemana negeri ini. Apakah tetap menjadi negara
agraris ataukah merubah menjadi negara maritim ? Tentu kita tidak boleh
memaksakan ego kita bahwa negara maritim yang paling benar, perlu adanya
langkah yang bijak untuk menentukan
langkah negara ini. Persoalannya, bijak untuk siapa ?
Sudah banyak kita dengar di berbagai
media bagaimana kebijakan negeri ini terlalu banyak disetir sementara potensi
bahari kita menunggu untuk diambil asing. Masihkah kita harus mendengar pulau
kita dijual kepada asing atau ikan kita banyak dijarah nelayan asing ? Rakyat
sudah terlalu jenuh mendengar masalah seperti ini padahal yang diperlukan hanya
kemauan politik untuk membenahi sektor ini. Sektor kepelabuhan kita yang
menyedihkan, lifting minyak kita yang tak ubahnya yo-yo yang naik turun, pasir kita
yang kita tabur di singapura, semuanya apabila pemerintah serius dan mau
membenahi masalah bahari tentu akan terselesaikan. Kita saja mampu membiayai
anggota dewan kita 678,4 miliar untuk kunjungan kerja, yang
tak jelas hasil kerjanya itu, tentu kita harusnya mampu membangun
pelabuhan-pelabuhan kecil. Indonesia negara maritim ? ah kata siapa.
Tioga Titanium Heads | TITONIC HEAD - TITONIC HEAD
ReplyDeleteTITONIC HEAD Specifications; titanium prices The titanium white paint design of titanium framing hammer the new Tioga head is designed titanium water bottle to take advantage of a new design cost of titanium in the design, with a very solid aluminum frame $59.99 · In stock