Monday, March 3, 2014

Indonesia Negara Maritim ? Ah kata siapa



Negara Maritim ?

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan panjang pantainya sebesar 95.181 km menurut PBB pada tahun 2008, terbesar ke empat di dunia setelah Rusia. Indonesia juga memiliki luas wilayah laut sebesar 5.8 juta kilometer persegi. Indonesia juga negara dengan lautan terluas di dunia, di kelilingi dua samudra yaitu Pasifik dan Hindia hingga tidak heran memiliki jutaan spesies ikan yang tidak dimiliki negara lain. Menurut Data resmi Bakosurtanal pada tahun 2011 menyebutkan, jumlah pulau di Indonesia mencapai 17.508 (17.506 pulau setelah dikurangi Sipadan dan Ligitan). Maka berdasarkan fakta diatas tidak heran Ir.Djoenda, Perdana Mentri RI, pada tahun 1957 mendeklarasikan Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) yang kemudian disahkan PBB pada tahun 1982. 

Selain pulaunya, Indonesia hingga sat ini memiliki 60 cekungan sumber daya minyak (Kevin M. Robinson, 1987). 40 cekungan berada di lepas pantai dan 14 cekungan berada di kawasan pesisir. Dari kesemuanya 22 cekungan telah di eksploitasi secara intensif. Diyakini masih banyak potensi yang masih tersimpan di perut tanah air tercinta ini. 

Sebegitu megahnya potensi maritim kita namun sepertinya warisan konsep dan pemikiran yang telah ditanamkan oleh penjajah belanda selama 350 tahun telah mengakar begitu hebat dan kuat di pemikiran orang Indonesia. Bangsa kita masih saja berpolemik tentang bagaimana mengatur jumlah lahan pertanian di pulau jawa atau saling tuding menuding atau mungkin sumpah serapah dalam pengurusan pembukaan lahan kelapa sawit di Kalimantan. Jarang sekali kita mendengar para pemimpin kita meributkan tentang pengembangan sumber daya perikanan di daerah-daerah yang berpotensial atau menyumpahi dengan muka merah padam pada pemodal asing yang menguasai hampir 95% aktifitas transportasi laut Indonesia.

Pengaruh penjajah

Pemikiran kita telah berubah sejak abad ke 19 yang dahulu berorientasikan ke-maritiman menjadi ke-tanahan. Padahal menurut Adrian B Lapian, nahkoda pertama sejarawan maritim Asia Tenggara, untuk negara kepulauan seperti Indonesia ini, wilayah maritimlah yang memegang wilayah sentral. Otak kita telah sedemikian di atur oleh penjajah untuk menjadi bangsa petani, bangsa buruh. 

Sejarah mencatat sebelum abad ke 17 kawasan Indonesia dan sekitarnya dikuasai oleh kapal-kapal nusantara, dibuktikan dengan begitu berkuasanya kerajaan Swijaya dan kerajaan Majapahit. Namun begitu menginjak paruh pertama abad ke-17, peran sentral ini mulai diambil alih oleh Belanda dan Portugis hingga puncaknya pada abad ke-19 sejarah maritim kita diibaratkan sudah memasuki waktu maghrib oleh Adrian B Lapia, nahkoda pertama sejarawan maritim Asia Tenggara. Pada negara kepulauan, peran kota pelabuhan sangat penting dimana pelabuhan ini akan menghubungkan satu pulau dengan pulau yang lain. Hal itu lah dipahami betul oleh para kumpeni, mereka menguasai satu per satu kota pelabuhan besar dan menghalau pelaut dan pedagang anak-anak Indonesia untuk berlayar. Akhirnya kapal-kapal Belandalah yang berlayar. Sejak dijajah oleh kumpeni inilah, sejarah besar bangsa maritim Indonesia hancur lebur. Anthony reid, pengkaji sejarah marirtim Indonesia dari Australian National University, mengutip pernyataan Daghregister Batavia pada 1677 bahwa orang-orang mataram bagian timur jawa saat itu sudah tidak tahu-menahu lagi soal laut dan tidak lagi memiliki kapal besar sendiri sebagai pemenuh kebutuhan rakyat saat itu.

Akhirnya rakyat dipaksa menjadi buruh paksa di darat. Bercocok tanam ditanamkan kepada bangsa Indonesia sebagai jati diri bangsa. Hal itu bisa anda lihat bersama di lambang pancasila untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang diibaratkan dengan padi dan kapas. Semuanya merupakan produk pertanian, sama sekali tidak menyentuh potensi bahari kita. Pikiran kita seakan ditutup untuk bagaimana sedapat mungkin ‘menghabisi’ seluruh potensi tanah kita, hingga sejarawan Ong Hok Ham (alm) geleng-geleng kepala dan berucap, “Apakah orang Indonesia hanya (bisa) hidup terpencil dikelilingi gunung berapi dan hidup dari usaha pertanian untuk kemudian dikolonisasi oleh penguasa yang menguasai lautan Indonesia ?”
Kondisi kekinian
Tak ubahnya dengan pepatah kedelai yang jatuh di lubang yang sama dua kali, negara kita ini tak berkembang signifikan setelah dijajah kumpeni dahulu. Fokus pengembangan negara hanya berkisar di daerah pertanian, bagaimana menciptakan bibit unggul, insektisida yang baik atau bagaimana memanfaatkan lahan yang mati. Bila diberikan peluang investasi pembangunan pelabuhan baru atau investasi pencarian sumber cadangan minyak baru, yang memiliki resiko rugi, pemerintah kita layaknya kucing, selalu bilang nanti saja. Padahal potensi maritim indonesia kini bila di estimasi menurut direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan Sudirman Saad, nilai ekonomi kelautan dari bidang-bidang maritim utama antara lain pertama, perikanan termasuk perikanan tangkap, budidaya, dan pengolahan mencapi USD 47 miliar per tahun. Kedua, pariwisata bahari mencapai USD 29 miliar yang tersebar di 241 kabupaten/kota. Selain itu, potensi ekonomi dari energi terbaharukan mencapai USD 80 miliar per tahun yang terdiri dari energi arus laut, pasang surut, gelombang, biofuel alga, panas laut. Ada juga biofarmasetika laut mencapai USD 330 miliar per tahun yang didukung oleh tingginya kelimpahan dan keanekaragaman hayati laut Indonesia untuk pengembangan industri bioteknologi bahan pangan, obat-obatan, kosmetika dan bioremediasi. Sementara nilai ekonomi transportasi laut mencapai USD 90 miliar per tahun didukung oleh potensi jaringan transportasi laut nasional dan internasional, posisi strategis Indonesia dan ALKI

Semua potensi tersebut sekarang tinggal menunggu kebijakan pemerintah, apakah akan dibiarkan saja atau akan dikelola. Diperlukan kemauan politik yang kuat dan langkah yang strategis untuk mengelola hal tersebut. Apalagi landasan undang-undang maritim Indonesia belum jelas selama ini, kebanyakan dari undang-undang kita masih rancu dan tidak bisa menjawab tantangan masa kini. Marilah kita berharap semoga pemerintah lebih serius menangani masalah ini, toh Indonesia tidak kekurangan ahli atau praktisi di bidang tersebut. ITS salah satunya.

Menatap Masa Depan

Indonesia tak ubahya remaja yang masih mencari jati diri. Sejatinya ia kuat namun karena belum memiliki jati diri yang kokoh ia acapkali terombang-ambing mencari jalan mana yang paling nyaman. Dengan potensi yang begitu besar sekarang tinggalah pilihan berada di tangan pemerintah, mau dibawa kemana negeri ini. Apakah tetap menjadi negara agraris ataukah merubah menjadi negara maritim ? Tentu kita tidak boleh memaksakan ego kita bahwa negara maritim yang paling benar, perlu adanya langkah yang bijak untuk  menentukan langkah negara ini. Persoalannya, bijak untuk siapa ? 

Sudah banyak kita dengar di berbagai media bagaimana kebijakan negeri ini terlalu banyak disetir sementara potensi bahari kita menunggu untuk diambil asing. Masihkah kita harus mendengar pulau kita dijual kepada asing atau ikan kita banyak dijarah nelayan asing ? Rakyat sudah terlalu jenuh mendengar masalah seperti ini padahal yang diperlukan hanya kemauan politik untuk membenahi sektor ini. Sektor kepelabuhan kita yang menyedihkan, lifting minyak kita yang tak ubahnya yo-yo yang naik turun, pasir kita yang kita tabur di singapura, semuanya apabila pemerintah serius dan mau membenahi masalah bahari tentu akan terselesaikan. Kita saja mampu membiayai anggota dewan kita 678,4 miliar untuk kunjungan kerja, yang tak jelas hasil kerjanya itu, tentu kita harusnya mampu membangun pelabuhan-pelabuhan kecil. Indonesia negara maritim ? ah kata siapa.

1 comment:

  1. Tioga Titanium Heads | TITONIC HEAD - TITONIC HEAD
    TITONIC HEAD Specifications; titanium prices The titanium white paint design of titanium framing hammer the new Tioga head is designed titanium water bottle to take advantage of a new design cost of titanium in the design, with a very solid aluminum frame $59.99 · ‎In stock

    ReplyDelete