Indonesia dan potensi
migasnya
Boleh dikata
Indonesia ini kaya akan sumber minyak dan gas (migas) karena baru-baru ini
menurut hasil penelitian Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) dan suatu
lembaga riset Jerman yang menemukan potensi minyak (hidrokarbon) dalam jumlah
sangat besar sekitar 107,5-320,79 miliar barel di perairan timur laut Pulau
Simeulue, Provinsi Naggroe Aceh Darussalam (NAD). Menurut kementrian ESDM,
cadangan minyak Indonesia terbukti 4.230,17 MMSTB (Million Metric Stock Tank Barrels)
dan potensial 3.534,31 MMST sementara potensi gas bumi yang dimiliki
Indonesia berdasarkan status tahun 2008 mencapai 170 TSCF dan produksi per
tahun mencapai 2,87 TSCF, dengan komposisi tersebut Indonesia memiliki reserve to production (R/P) mencapai
59 tahun. Singkat kata, banyak sekali.
Tak bisa atau tak mau ?
Sayang beribu
sayang di tengah melimpahnya cadangan minyak kita, walaupun masih 1/1000nya
cadangan minyak venezuela menurut wakil menteri ESDM, 74% kegiatan usaha hulu
atau pengeboran minyak dan gas (migas) di Indonesia masih dikuasai perusahaan
asing. Perusahaan nasional cuma menguasai 22% dan sisanya konsorsium asing dan
lokal. Lebih menyedihkan lagi melihat kenyataan bahwa Indonesia hanya mempunyai
7 kilang minyak dengan kapasitas produksi 1.041,20 Ribu Barrel. Bandingkan
kilang minyak singapura yang mencapai 1,3 juta barel lebih per hari. Selama 10
tahun Indonesia akan membangun kilang minyak baru yang lebih berkualitas namun
semuanya hanya janji belaka. Padahal insinyur Indonesia mampu membangun kilang
minyak sendiri jika diberikan kesempatan oleh pemerintah menurut Ketua Ikatan
Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI) Nanang Untung.
Terlepas dari
tidak mampunya Indonesia mendominasi di negeri sendiri, pemerintah nampaknya
juga belum mau berusaha untuk mengembangkan diri. Hal itu terlihat dari
bagaimana sikap pemerintah yang condong kepada investor asing mengenai kontrak
blok mahakam. Kontrak blok yang akan habis pada 2017 ini dinilai pemerintah
akan lebih menguntungkan bila di berikan kepada TOTAL atau INPEX dengan syarat
menaikan bagi hasil yang lebih banyak lagi dari kontrak sebelumnya. Sisa
cadangan yang ada plus fasilitas produksi yang sudah sepenuh diberikan cost
recovery harus dianggap sebagai equity pemerintah sehingga split bagi hasil
yang semula 70:30 untuk gas dan 85:15 untuk minyak harus dinaikkan secara
signifikan untuk mengkompensasi equity pemerintah tersebut menurut Gde
Pradnyana, Sekretaris Satuan Kerja Khusus Migas (SKKMIGAS). Padahal PERTAMINA
sebagai perusahaan nasional telah meminta hak kelola blok tersebut sejak 2013
lalu. Menurut Manajer External Communication PT
Pertamina (Persero) Jekson Simanjuntak, PERTAMINA mampu untuk mengelola blok
mahakam dengan estimasi keuntungan 190 Triliun yang tentu akan masuk ke kas
negara. Direktur Eksekutif Institute Resourcess Studies (IRESS) Marwan Batubara
pun mendukung permintaan Pertamina tersebut.
Di sisi lain PERTAMINA telah
membuktikan diri kepada pemerintah sebagai unit kerja yang kredibel dengan berhasil
bercokol di peringkat 122 Fortune 500. Fortune 500 adalah daftar peringkat
tahunan perusahaan kelas dunia yang diterbitkan oleh majalah bergengsi Fortune. Dalam peringkat itu,
terdapat 500 perusahaan swasta dan milik pemerintah teratas yang dinilai
berdasarkan kinerja tiap-tiap perusahaan dengan melihat pendapatan kotor
perusahaan tersebut. Sehingga bola panas sekarang berada di tangan pemerintah,
akankah terus memberikan kontrak kepada asing atau ada sedikit “keberanian”
untuk mempercayakan blok ini kepada anak negeri. Maka kemauan politik lah yang
nantinya akan menentukan kemana arah blok ini akan bersandar lagi untuk paling
tidak 20 tahun lagi.
Saatnya move on
Mari sejenak
kita lepaskan hingar bingar data dan kritik yang bertebaran, marilah kita
sejenak melihat kembali apa cita-cita bapak pendiri bangsa, Ir.Sukarno. Bung
karno pernah menolak bantuan dari Amerika Serikat karena saat itu Indonesia
mengalami krisis ekonomi karena pemerintah terlalu terfokus dalam ranah politik
dan kurang memperhatikan masalah ekonomi dalam negeri. Melihat hal itu,
pemerintah Amerika Serikat mencoba menawarkan bantuan agar Indonesia dapat
mengatasi krisis tersebut. Meluncurlah salah satu kalimat terkenal bung karno,
“Go to the hell with your aid !”.
Bung karno sendiri bercita-cita nantinya seluruh potensi bangsa ini dikelola
oleh rakyatnya sendiri. Maka pilihan untuk memberikan blok mahakam, blok siak
atau blok-blok lainnya yang akan habis kontrak kepada asing tentu bukan
merupakan kebijakan yang nasionalis tapi belum tentu kebijakan yang strategis.
Tentu pemerintah harus memikirkan keputusan yang sebijak-bijaknya, yang
nasionalis, yang strategis. Melepas blok mahakam atau blok siak juga bukan
suatu keputusan yang akan menghancurkan perekonomian Indonesia, tentu akan
lebih bijak jika kelola blok ini dan blok-blok lainnya dikembalikan kepada
PERTAMINA sesuai mandat UUD 45 pasal 33. Sembari berlalunya waktu, para
insinyur negara ini dan PERTAMINA akan belajar bagaimana mengelola suatu blok
migas. Transfer technologypun akan
semakin meningkat sehingga Indonesia semakin mampu mengelola sendiri. Rugi
merupakan hal yang wajar, untuk mendapatkan sesuatu tentu ada biayanya bukan ?
Namun peran pemerintah lah yang harus mampu menekan kerugian tersebut, toh kita
sudah sering merugi dari hasil korupsi. Pemerintah tentu harus memiliki
keberanian dan kemauan politik untuk menjalankan ini sehingga kita bisa terus
berbenah diri. Meminjam istilah anak muda saat ini, yuk Indonesia move on.
Sumber :
http://www.skkmigas.go.id/data-dan-fakta-seputar-blok-mahakam,
diakses 23 Februari 2014
http://www.esdm.go.id/berita/40-migas/3190-cadangan-produksi-gas-bumi-indonesia-mencapai-59-tahun.html
diakses 23 Februari 2014
http://www.migas.esdm.go.id diakses 23 Februari 2014
http://finance.detik.com/read/2014/02/18/115311/2500667/1034/ri-singapura-dan-malaysia-siapa-punya-kilang-minyak-paling-besar
diakses 23 Februari 2014
http://www.merdeka.com/uang/74-persen-blok-migas-indonesia-dikuasai-asing.html
diakses 23 Februari 2014