Monday, March 24, 2014

Pulau kecil yang semakin kecil



Tersusun dari puluhan ribu pulau membuat Indonesia otomatis menjadi negara kepulauan, bahkan menjadi salah satu yang terbesar. Namun demikian belum ada kepastian jumlah pulau yang dimiliki oleh Indonesia secara pasti sebagai pedoman kesamaan tentang jumlah pulau-pulau tersebut, simpang siur pendapat tentang data jumlah pulau yang dimiliki oleh NKRI masih terus menjadi perdebatan, ada sumber yang berpendapat bahwa jumlah pulau yang dimiliki oleh Indonesia anatara lain: 17.504 pulau; 17.480 pulau; 17.508 pulau; dan bahkan ada yang mengatakan lebih dari 17.000 pulau. Ketidak pastian ini menjadi polemik yang tidak berkesudahan dalam menentukan jumlah pulau yang dimiliki dan masuk dalam kedaulatan NKRI. Berbagai Lembaga pernah mempublikasikan tentang jumlah pulau yang dimiliki Indonesia, tetapi sampai dengan saat ini belum ada pernyataan resmi sebagai dokumen negara dan diakui secara internasional tentang penetapan jumlah pulau yang dimiliki oleh Indonesia.

Adapun Lembaga yang pernah menetapkan jumlah pulau yang dimiliki oleh Indonesia, diantaranya adalah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 1972, mempublikasikan bahwa hanya 6.127 pulau yang telah mempunyai nama. Publikasi ini tanpa menyebutkan jumlah pulau secara keseluruhan; Pusat Survei dan Pemetaan ABRI (Pussurta) pada tahun 1987menyatakan, jumlah pulau di Indonesia adalah 17.504 dan dari jumlah itu hanya 5.707 pulau yang telah memiliki nama; Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) pada tahun 1992menerbitkan “Gezetteer nama-nama Pulau dan Kepulauan Indonesia”. Bakorsurtanal mencatat hanya 6.489 pulau yang telah memiliki nama; kemudian Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) pada tahun 2002 berdasarkan citra satelit mengklaim jumlah pulau di Indonesia adalah 18.306 buah; Kementrian Riset dan Teknologi, pada tahun 2003, berdasarkan citra satelit menyebutkan Indonesia memiliki 18.110 pulau.
Ternyata jumlah yang sudah dirilis oleh KKP itupun masih belum valid, dan pada bulan Agustus tahun 2010, Kementrian Kelautan dan Perikanan melakukan revisi tentang jumlah pulau yang dimiliki Indonesia dari 17.480 pulau menjadi 13.000 pulau. 

Permasalahannya klasik, kita bahkan tidak tahu diri kita sendiri. Di tengah zaman teknologi seperti ini jumlah pulau saja Indonesia tidak mengetahui, lantas bagaimana kita mampu mengelola pulau-pulau kecil di Indonesia ? Pulau kita banyak namun konsentrasi pengembangan pulau kita hanya berkisar di pulau besar saja seperti pulau jawa, sumatera atau kalimantan. Pulau-pulau kecil kita seakan menjadi anak tiri yang tidak dihiraukan. Padahal potensi pulau kecil dan pesisir Indonesia sangat besar. Menurut Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Dirjen KP3K – KKP Bapak Sudirman Saad yang dilansir dari media merdeka.com estimasi nilai ekonomi dari sektor perikanan termasuk perikanan tangkap, pengolahan dan budidaya bernilai USD 47 Miliar per tahun.
Sedangkan dari sektor pengembangan pariwisata bahari yang tersebar di 241 Kabupaten/Kota diperkirakan memiliki nilai ekonomis mencapai USD 29 Miliar per tahun. Potensi yang lain adalah energi terbarukan yang terdiri dari energi arus laut, pasang surut, gelombang biofuel alga dan panas bumi dengan perkiraan nilai ekonomis mencapai USD 80 Miliar per tahun.

Dari sektor biofarmasetika laut yang dikelola dari potensi keanekaragaman hayati laut Indonesia untuk pengembangan industri bioteknologi bahan pangan, obat-obatan, kosmetika dan bioremediasi bisa mencapai nilai ekonomis USD 330 Miliar per tahun. Belum lagi potensi transportasi laut yang bisa menghasilkan sebesar USD 90 Miliar per tahun. Ada pula sektor minyak bumi dan gas offshore mencapai USD 68 Miliar per tahun sedangkan seabed mineral bisa menghasilkan USD 256 Miliar per tahun.

Contohnya saja pulau bawean yang berada di lingkup kabupaten Gresik. Bawean memiliki potensi wisata seperti Taman Laut Gili, Taman Laut Noko, Pantai Pasir Putih, Wisata Pantai Ria di Desa Dekatagung Kec. Sangkapura. Kemudian, air terjun Palomon, Kuduk-Kuduk, dan air terjun Laccar. Yang paling tekenal adalah Danau Kastoba. Sayangnya hal itu terkendala oleh transportasi dan infastruktur yang tidak memadai. Untuk menuju Bawean, satu-satunya jalan yang bisa ditempuh adalah transportasi laut. Hanya ada dua kapal penumpang yang melayani penyebrangan Gresik-Bawean atau sebaiknya, yaitu Kapal Motor Penumpang (KMP) Express Bahari 8B dan KMP Dharma Kartika dan tiket perjalanan kapal itupun terbilang mahal, kelas VIP Rp 156.500, eksekutif Rp 131.500, sedangkan kelas ekonomi Rp 116.500. Pembangunan infrastruktur, seperti jalan dan listrik yang tidak memadai, serta susahnya transportasi menuju Bawean menjadi penghambat pengembagan potensi. Bahkan, separo lebih warga Bawean usia produktif memilih mengais rezeki di keluar daerah hingga mancanegara, seperti di Malaysia dan Singapura. Sebab, di Bawean mereka merasa tidak ada harapan.

Maka perlu adanya perhatian khusus mengenai pulau-pulau kecil ini dari pemerintah agar pulau kecil ini semakin terlindungi keberadaannya. Melalui peraturan presiden no 122 tahun 2012 pemerintah memberikan jawaban berupa pengaturan reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini ditujukan agar pulau-pulau kecil tak bernama kita tak ‘tergadai’ ke asing. Pasal 3, 11 dan 13 menunjukkan perlindungan pemerintah terhadap kondisi asli wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil kita agar tidak tereksploitasi secara ‘beringas’. Contohnya di pasal 11 penyusunan rencana induk reklamasimemperhatikan:
kajian lingkungan hidup strategis, kesesuaian dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) Provinsi, Kabupaten/Kota dan/atau Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kot, sarana prasarana fisik di lahan reklamasi dan di sekitar lahan yang di reklamasi,
akses publik, fasilitas umum,kondisi ekosistem pesisir. Hal ini paling tidak menunjukkan ada sedikit niatan dari pemerintah untuk menjaga walaupaun kita tidak mengetahui secara pasti di lapangan prakteknya seperti apa.
Pengelolaan pesisir dan pulau kecil juga disampaikan melalui Undang-Undang (UU) no 27 tahun 2007 pasal 1 Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melalui UU ini diatur pula bahwa kewenangan pengelolaan pulau-pulau kecil berada di tingkat daerah dimana diatur dalam pasal 7 ayat 3 dan 4 dimana standarisasinya dilakukan oleh kementrian melalui pasal 7 ayat 2. Namun sepertinya pemerintah sendiri masih belum mampu (atau tidak mampu ?) melaksanakan apa yang mereka canangkan sendiri melalu pasal 15 ayat 1 UU no 27 tahun 2007 dimana dijelaskan pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengelola dan informasi mengenai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kita bahkan tidak tahu pastinya berapa pulau yang ada Indonesia, sungguh ironi. 

Mandat pemanfaatan dan pengelolaan pun sejatinya sudah dituangkan dalam pasal 23 UU no 27 tahun 2007 namun realisasinya masih jauh dari apa yang kita harapkan. Koridor sudah kita buat, jalan sudah kita bangun, sumber daya sudah mencukupi, lantas apa yang kita tunggu ? apakah pembangunan kemaritiman masih dinilai kurang ‘seksi’ daripada sektor-sektor yang lain ? Yang paling jelas pulau-pulau kecil dan wilayah pesisir ini membutuhkan pertolongan darurat. Entah dari calon legislatif, calon presiden atau mungkin dari anda ?
 

Monday, March 3, 2014

Indonesia Negara Maritim ? Ah kata siapa



Negara Maritim ?

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan panjang pantainya sebesar 95.181 km menurut PBB pada tahun 2008, terbesar ke empat di dunia setelah Rusia. Indonesia juga memiliki luas wilayah laut sebesar 5.8 juta kilometer persegi. Indonesia juga negara dengan lautan terluas di dunia, di kelilingi dua samudra yaitu Pasifik dan Hindia hingga tidak heran memiliki jutaan spesies ikan yang tidak dimiliki negara lain. Menurut Data resmi Bakosurtanal pada tahun 2011 menyebutkan, jumlah pulau di Indonesia mencapai 17.508 (17.506 pulau setelah dikurangi Sipadan dan Ligitan). Maka berdasarkan fakta diatas tidak heran Ir.Djoenda, Perdana Mentri RI, pada tahun 1957 mendeklarasikan Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) yang kemudian disahkan PBB pada tahun 1982. 

Selain pulaunya, Indonesia hingga sat ini memiliki 60 cekungan sumber daya minyak (Kevin M. Robinson, 1987). 40 cekungan berada di lepas pantai dan 14 cekungan berada di kawasan pesisir. Dari kesemuanya 22 cekungan telah di eksploitasi secara intensif. Diyakini masih banyak potensi yang masih tersimpan di perut tanah air tercinta ini. 

Sebegitu megahnya potensi maritim kita namun sepertinya warisan konsep dan pemikiran yang telah ditanamkan oleh penjajah belanda selama 350 tahun telah mengakar begitu hebat dan kuat di pemikiran orang Indonesia. Bangsa kita masih saja berpolemik tentang bagaimana mengatur jumlah lahan pertanian di pulau jawa atau saling tuding menuding atau mungkin sumpah serapah dalam pengurusan pembukaan lahan kelapa sawit di Kalimantan. Jarang sekali kita mendengar para pemimpin kita meributkan tentang pengembangan sumber daya perikanan di daerah-daerah yang berpotensial atau menyumpahi dengan muka merah padam pada pemodal asing yang menguasai hampir 95% aktifitas transportasi laut Indonesia.

Pengaruh penjajah

Pemikiran kita telah berubah sejak abad ke 19 yang dahulu berorientasikan ke-maritiman menjadi ke-tanahan. Padahal menurut Adrian B Lapian, nahkoda pertama sejarawan maritim Asia Tenggara, untuk negara kepulauan seperti Indonesia ini, wilayah maritimlah yang memegang wilayah sentral. Otak kita telah sedemikian di atur oleh penjajah untuk menjadi bangsa petani, bangsa buruh. 

Sejarah mencatat sebelum abad ke 17 kawasan Indonesia dan sekitarnya dikuasai oleh kapal-kapal nusantara, dibuktikan dengan begitu berkuasanya kerajaan Swijaya dan kerajaan Majapahit. Namun begitu menginjak paruh pertama abad ke-17, peran sentral ini mulai diambil alih oleh Belanda dan Portugis hingga puncaknya pada abad ke-19 sejarah maritim kita diibaratkan sudah memasuki waktu maghrib oleh Adrian B Lapia, nahkoda pertama sejarawan maritim Asia Tenggara. Pada negara kepulauan, peran kota pelabuhan sangat penting dimana pelabuhan ini akan menghubungkan satu pulau dengan pulau yang lain. Hal itu lah dipahami betul oleh para kumpeni, mereka menguasai satu per satu kota pelabuhan besar dan menghalau pelaut dan pedagang anak-anak Indonesia untuk berlayar. Akhirnya kapal-kapal Belandalah yang berlayar. Sejak dijajah oleh kumpeni inilah, sejarah besar bangsa maritim Indonesia hancur lebur. Anthony reid, pengkaji sejarah marirtim Indonesia dari Australian National University, mengutip pernyataan Daghregister Batavia pada 1677 bahwa orang-orang mataram bagian timur jawa saat itu sudah tidak tahu-menahu lagi soal laut dan tidak lagi memiliki kapal besar sendiri sebagai pemenuh kebutuhan rakyat saat itu.

Akhirnya rakyat dipaksa menjadi buruh paksa di darat. Bercocok tanam ditanamkan kepada bangsa Indonesia sebagai jati diri bangsa. Hal itu bisa anda lihat bersama di lambang pancasila untuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang diibaratkan dengan padi dan kapas. Semuanya merupakan produk pertanian, sama sekali tidak menyentuh potensi bahari kita. Pikiran kita seakan ditutup untuk bagaimana sedapat mungkin ‘menghabisi’ seluruh potensi tanah kita, hingga sejarawan Ong Hok Ham (alm) geleng-geleng kepala dan berucap, “Apakah orang Indonesia hanya (bisa) hidup terpencil dikelilingi gunung berapi dan hidup dari usaha pertanian untuk kemudian dikolonisasi oleh penguasa yang menguasai lautan Indonesia ?”
Kondisi kekinian
Tak ubahnya dengan pepatah kedelai yang jatuh di lubang yang sama dua kali, negara kita ini tak berkembang signifikan setelah dijajah kumpeni dahulu. Fokus pengembangan negara hanya berkisar di daerah pertanian, bagaimana menciptakan bibit unggul, insektisida yang baik atau bagaimana memanfaatkan lahan yang mati. Bila diberikan peluang investasi pembangunan pelabuhan baru atau investasi pencarian sumber cadangan minyak baru, yang memiliki resiko rugi, pemerintah kita layaknya kucing, selalu bilang nanti saja. Padahal potensi maritim indonesia kini bila di estimasi menurut direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan Sudirman Saad, nilai ekonomi kelautan dari bidang-bidang maritim utama antara lain pertama, perikanan termasuk perikanan tangkap, budidaya, dan pengolahan mencapi USD 47 miliar per tahun. Kedua, pariwisata bahari mencapai USD 29 miliar yang tersebar di 241 kabupaten/kota. Selain itu, potensi ekonomi dari energi terbaharukan mencapai USD 80 miliar per tahun yang terdiri dari energi arus laut, pasang surut, gelombang, biofuel alga, panas laut. Ada juga biofarmasetika laut mencapai USD 330 miliar per tahun yang didukung oleh tingginya kelimpahan dan keanekaragaman hayati laut Indonesia untuk pengembangan industri bioteknologi bahan pangan, obat-obatan, kosmetika dan bioremediasi. Sementara nilai ekonomi transportasi laut mencapai USD 90 miliar per tahun didukung oleh potensi jaringan transportasi laut nasional dan internasional, posisi strategis Indonesia dan ALKI

Semua potensi tersebut sekarang tinggal menunggu kebijakan pemerintah, apakah akan dibiarkan saja atau akan dikelola. Diperlukan kemauan politik yang kuat dan langkah yang strategis untuk mengelola hal tersebut. Apalagi landasan undang-undang maritim Indonesia belum jelas selama ini, kebanyakan dari undang-undang kita masih rancu dan tidak bisa menjawab tantangan masa kini. Marilah kita berharap semoga pemerintah lebih serius menangani masalah ini, toh Indonesia tidak kekurangan ahli atau praktisi di bidang tersebut. ITS salah satunya.

Menatap Masa Depan

Indonesia tak ubahya remaja yang masih mencari jati diri. Sejatinya ia kuat namun karena belum memiliki jati diri yang kokoh ia acapkali terombang-ambing mencari jalan mana yang paling nyaman. Dengan potensi yang begitu besar sekarang tinggalah pilihan berada di tangan pemerintah, mau dibawa kemana negeri ini. Apakah tetap menjadi negara agraris ataukah merubah menjadi negara maritim ? Tentu kita tidak boleh memaksakan ego kita bahwa negara maritim yang paling benar, perlu adanya langkah yang bijak untuk  menentukan langkah negara ini. Persoalannya, bijak untuk siapa ? 

Sudah banyak kita dengar di berbagai media bagaimana kebijakan negeri ini terlalu banyak disetir sementara potensi bahari kita menunggu untuk diambil asing. Masihkah kita harus mendengar pulau kita dijual kepada asing atau ikan kita banyak dijarah nelayan asing ? Rakyat sudah terlalu jenuh mendengar masalah seperti ini padahal yang diperlukan hanya kemauan politik untuk membenahi sektor ini. Sektor kepelabuhan kita yang menyedihkan, lifting minyak kita yang tak ubahnya yo-yo yang naik turun, pasir kita yang kita tabur di singapura, semuanya apabila pemerintah serius dan mau membenahi masalah bahari tentu akan terselesaikan. Kita saja mampu membiayai anggota dewan kita 678,4 miliar untuk kunjungan kerja, yang tak jelas hasil kerjanya itu, tentu kita harusnya mampu membangun pelabuhan-pelabuhan kecil. Indonesia negara maritim ? ah kata siapa.