Seorang tua renta berjalan dalam terik siang. Dia membawa tas yang berbobot dua kali beban tubuhnya, sambil sesekali menyeka keringat yang membasahi keningnya siang itu. Sorot matanya yang tajam itu menatap lekat ke dalam rumah besar yang ada didepannya. Rumah itu adalah rumah seorang pengacara terkenal sekaligus politikus handal yang sering lewat-lewat di televisi.
“ada perlu apa pak tua kau mendatangi orang terhormat seperti aku ?” pengacara terkenal itu berbicara, “tentu kau tahu aku tidak punya banyak waktu, aku sangatlah sibuk”
Dalam diam pak tua mengeluarkan setumpuk kertas yang sudah sering pengacara itu lihat. Setumpuk berkas-berkas tentang pencurian lahan di daerah pak tua tersebut. Sejenak kemudian pak tua itu berbicara,
“Pak pengacara, sesungguhnya aku kemari, mengganggu waktumu yang berharga, hanya ingin meminta pendapatmu.” Kata pak tua itu lembut.
“Pendapatku ?” pengacara itu mengerutkan dahinya, “sekali lagi pak tua, tahukah kau bahwa aku ini seorang pengacara terkenal yang biasa menangani kasus-kasus miliaran rupiah. Dan kau datang ke istanaku, mengganggu waktuku yang berharga hanya untuk meminta pendapat dariku ?”
“tepat sekali, aku kemari karena aku ingin meminta pendapatmu sebagai seorang yang diagungkan dalam sistem bernama pengadilan, aku kemari karena ingin meminta pertimbangan tentang sesuatu yang kita sebut dengan keadilan. Tentu kau sudah sering berurusan dengan kata yang satu ini, mengingat jam terbangmu yang sudah mencapai puncak karirmu. Maka jika kau berkenan, aku akan teruskan tentang masalah ini kemudian berikanlah pendapatmu yang agung, jika kau tidak berkenan, aku akan segera melangkahkan kakiku pergi dari istanamu yang suci ini dan kau boleh menuntutku karena sudah mengganggu waktumu yang berharga”, jawab pak tua itu dengan sorot mata tajam yang sama sekali tak menampakkan takut ataupun malu sedikitpun kepada pengacara terkenal ini.
Pengacara itu tertegun untuk beberapa saat. Sebelumnya belum ada orang yang tidak malu saat berbicara dengan dirinya. Kebanyakan dari mereka selalu merendahkan suara mereka dan tidak berani menatap matanya selekat pria tua ini.
“bagaimana pak pengacara ?” tanya pria tua ini
Pertanyaan pak tua tadi membuyarkan sejuta pertanyaan yang ada di dalam kepala pengacara terkenal ini, “kelihatannya menarik, jelaskan kepadaku dengan detil apa masalah yang menghadapimu dan mungkin aku bisa memberikan pendapatku”
Pak tua itu tersenyum dan kemudian melanjutkan perkataannya, “begini, aku sedang menghadapi sebuah kasus pelik tentang pencurian buah mangga”
“buah mangga ? apa maksudmu pak tua ?” potong pengacara itu heran.
“tolong jangan potong kata-kataku, permasalahan ini amat rumit.”
pengacara itu terdiam, “baiklah, lanjutkan ceritamu”
“terima kasih, seperti yang aku bicarakan, kasus ini tentang pencurian buah mangga yang terjadi di desaku. Pelakunya menurut pengadilan adalah seorang nenek tua yang amat renta yang bahkan saat berjalan pun dia tidak bisa meluruskan punggungnya. Menurut fakta pengadilan, nenek tua ini dituduh mencuri satu buah mangga milik seorang juragan kaya yang kenyataannya amat pelit dan amat bengis di kampung kami. Nenek tua ini hidup sebatang kara dan tidak memiliki sebatang kara jadi tidak ada orang yang bisa menolongnya. Untuk makan sehari-hari pun nenek tua ini mengandalkan dari bantuan sekitar tetangganya. Kasus ini bermula ketika nenek tua ini lewat dekat pekarangan pohon mangga milik juragan bengis itu, sejurus kemudian nenek tua ini memungut buah mangga milik juragan bengis yang sudah matang dan bermaksud mengembalikannya kepada juragan bengis karena nenek tua ini berprinsip tidak ingin memakan makanan yang haram. Namun juragan bengis ini mengira bahwa nenek tua ini hendak mencuri buah mangganya dan kemudian menyoalkannya di depan meja pengadilan. Dan yang lebih miris di pengadilan nenek itu divonis hukuman penjara 5 tahun dan diharuskan membayar denda sebesar 50 juta rupiah.”
Pria tua itu sejenak mengambil napas panjang dan kemudian meneruskan ceritanya,
“Aku mengetahui hal itu dan kemudian berusaha membelanya di hadapan para hakim, bukan untuk bersikap pahlawan namun sebagai panggilan hati. Aku tak biasa kalau ada ketidak adilan berada disekitarku. Setidaknya aku berhasil meminta penannguhan dan peninjauan kembali. Sepertinya para hakim telah dibayar oleh keparat itu untuk memenangkan dirinya. Hal inilah yang tidak aku sukai dari pengadilan, terlalu banyak definisi tentang keadilan. Nah apa pendapatmu pengacara hebat ? tentu sebagai seorang pengacara handal aku menantikan jawaban-jawaban yang luar biasa darimu.”
Pengacara hebat itu hening, sehening angin yang mulai menyejukkan dan menyeka keringat di dahi pak tua. Pengacara itu bingung, tak pernah sebelumnya ia kehabisan kata seperti ini, seumur karir hukumnya ia dijuluki “Si Pendebat” tak lain karena kemampuannya dalam olah kata. Namun kali ini berbeda, pengacara ini tak kehabisan kata-kata untuk menjawab pria tua ini.
“aku tak tahu” jawab pengacara ini lirih.
“tak tahu ? bukankah kau seorang pengacara hebat yang biasa memenangkan kasus yang lebih dari ini ? “
“itu betul pak tua, namun semua yang kau katakan tak ubahnya realita yang terjadi di dunia ini” ucapnya dengan lirih.
“apa maksudmu pengacara hebat ?”
“tentu kau paham apa yang aku katakan.”
“aku hanyalah seorang petani biasa mana bisa aku paham perkataanmu barusan sementara aku tak paham dunia mana yang kau maksud.”
“baiklah pak tua, sepertinya kau benar-benar ingin jawaban dariku. Itulah realitanya, banyak orang yang berkata atas keadilan mereka sendiri. Mereka membawa kebenaran mereka sendiri kedalam pengadilan dan memaksanya untuk menjadi benar. Tak sedikit yang mengeluarkan jutaan rupiah hanya untuk membuktikan bahwa kebenarannya adalah benar. Itulah yang aku perangi dalam hatiku ini pak tua.”
Pengacara muda kemudian menghela satu napas panjang seolah menceritakan sesuatu yang sangat berat dalam paru-parunya.
“Meskipun aku mencapai puncak karirku, aku merasa aku telah mencapai titik terendah dalam imanku. Begitu banyak kasus yang aku hadapi berlawanan dengan rasa nuraniku. Begitu banyak tangisan orang yang kalah akibat diriku ini. Namun yang lebih menyedihkan aku tidak bisa melakukan apapun. Jika aku menuruti hati nuraniku tentu aku tidak akan bisa mendapatkan semua ini.”
Mata pengacara itu mulai berkaca-kaca dan kemudian mengambil tisu didekatnya dan mencoba menyeka air mata yang mulai mengalir dari matanya yang tajam itu. Sementara pak tua itu tersenyum sangat lebar.
“apa maksudmu tersenyum pak tua ? apakah kau menertawakan nasibku ?” tanya pengacara
“tidak, sama sekali tidak. Aku tidak menertawakan hidupmu.”
“lalu kenapa kamu tersenyum ?”
“aku hanya senang sudah menemukan seseorang yang tepat untuk membantuku” ujar pria tua itu sambil tersenyum.
“maksudmu ?”
“kau masih ingin memperbaiki sisa hidupmu kan ?”
“tentu saja aku ingin !”
“Kalau begitu bantulah aku memenangkan kasusku dan selamatkan nenek tua itu dari jeratan juragan bengis itu.”
Pengacara itu sontak terdiam. Ia meresapi kembali setiap ucapan yang dikatakan dari pak tua renta ini, seolah ada perasaan lama yang seolah kembali lagi.
“tentu aku tak punya uang untuk membayarmu, kalau kau tak mau tidak apa-apa, setidaknya aku sudah menemukan seseorang yang sangat hebat” kata pak tua
“tidak, tidak, tidak, aku tidak memikirkan masalah bayaranku. Aku hanya ingin menanyakan kapan persidangan lanjutannya dilaksanakan ?” kata pengacara itu sambil tersenyum.
Pak tua tersenyum dengan lebar, “Besok pagi”, “Hah besok pagi ? tidak kah kau salah bicara ? kita bahkan belum menyusun daftar pembelaan kita” kata pengacara kaget.
Pak tua dengan tenang menjawab pertanyaan pengacara, “tenanglah bukankah kita masih puna 12 jam lagi ? lagipula jangan lupa bahwa kau adalah pengacara muda terhebat di negeri ini.”
Keduanya kemudian tertawa lepas. Setelah membahas banyak tentang masalah yang akan mereka hadapi esok pagi, pria tua ini kemudian pamit untuk pulang, sebelum pulang
“pak tua,aku ingin mengucapkan terima kasih” ucap pengacara sambil tersenyum
“atas ?”
“atas jasamu mengembalikan jiwaku yang telah lama hilang”
Pak tua kemudian tersenyum dan melangkahkan kakinya keluar menuju jalan raya dan menuju rumahnya. Esok paginya dengan mudah pengacara itu menjungkalkan juragan bengis itu dan kemudian merawat nenek tua itu di rumahnya. Kemudian pengacara itu berubah menjadi pengacara pencari koruptor paling hebat di negeri antah berantah ini.
“Sudah kubilang, aku tidak salah pilih” ujar pria tua itu sambil meneguk secangkir kopi di depan rumahnya yang asri.